Oleh: Wahyu Nizam
Presiden Joko Widodo pada akhir Mei lalu mengumumkan kebijakan baru mengenai pandemi covid-19 yang disebut new normal atau tatanan normal baru. Normal baru ini dimaknai bagaimana masyarakat dapat melakukan aktifitasnya dengan tetap menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Namun setelah kelang satu bulan dari pengumuman tersebut, pemerintah melalui juru bicara penanganan covid-19 Achmad Yurianto pada konferensi virtualnya Jumat, (10/7) mengatakan bahwa penggunaan New Normal adalah diksi yang salah, sehingga diganti dengan adaptasi kebiasaan baru.
Disamping penggunaan istilah yang salah tersebut, masyarakat sudah kadung merespon ‘gembira’ dengan hadirnya New Normal. Hal ini membuat masyarakat merasa bebas melakukan aktifitas pada umumnya yang terkadang menyampingkan protokol kesehatan yang dianjurkan. Artinya masyarakat tidak ambil peduli apapun istilahnya, yang terpenting adalah kini bisa beraktivitas seperti biasa. Dari disinformasi akibat tidak konsistennya pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan tentu akan membuat adaptasi kebiasaan baru yang dimaksud lari dari tujuan.
Alih-alih menjaga pertumbuhan ekonomi dan menjamin keamanan masyarakat dengan protokol kesehatan, malah sejak diterapkannya adaptasi kebiasaan baru kasus terkonfirmasi covid-19 terus meningkat tajam. Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 BNPB menunjukan pertanggal 13 Juli - 14 Agustus kasus positif tidak turun dari angka 1000. Artinya dalam kurun waktu satu bulan ada 30.000 lebih kasus konfirmasi, dan pada 14 Agustus 2020 tercatat sebanyak 135.123 konfirmasi sehingga menempatkan Indonesia di urutan ke-22 sebagai negara dengan kasus konfirmasi terbanyak di Dunia.
Masa adaptasi kebiasaan baru ini pula menimbulkan pengertian yang salah pada masyarakat, protokol kesehatan tidak benar-benar diterapkan dan dipatuhi dengan baik. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengawasan dari lembaga yang berwewenang. Seorang Epidemolog Fakultas Kesehatan Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof. Ridwan Amiruddin mengatakan bahwa berdasarkan hasil survei, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan masih sampai 35%. Pernyataan ini menunjukan bahwa kalau ada 10 orang yang beraktifitas di luar, hanya 3 orang saja yang patuh menggunakan masker, sedangkan 7 lainnya sangat berpotensi tertular.
Beranjak dari berbagai permasalah di atas, penerapan adaptasi kebiasaan baru yang sudah berjalan berkisar selama dua bulan belakangan harus benar-benar menjadi evaluasi bagi pemerintah sebagai pusat regulator, serta masyarakat sendiri sebagai eksekutor. Antara pemerintah dan masyarakat bukan momennya lagi saling melempar kesalahan dan berkutat pada perdebatan. Karena dalam hal ini keduanya harus menjadi peran protagonis dalam penyelesaian wabah yang merenggut sektor-sektor kenegaraan.
Sebagian besar masyarakat Indonesia benar-benar salah kaprah dalam memaknai dan menjalankan kebijakan adaptasi kebiasaan baru. Padahal jika difahami kata ‘adaptasi’ mengandung arti penyesuaian terhadap lingkungan. Secara biologi adaptasi bermakna siapa yang mampu menyesuaikan akan bertahan, jika tidak mampu akan mengalami kepunahan atau kelangkaan. Kalau dihubungkan dengan adaptasi kebiasaan baru yang saat ini diterapkan, siapa yang benar-benar mematuhi protokol kesehatan akan tetap aman dan yang tidak akan memiliki potensi besar mengalami penularan.
Menyikapi hal demikian, Presiden Joko Widodo kerab sekali memberikan sentilan kepada daerah-daerah yang masyarakatnya tidak patuh. Namun, tidaklah cukup sebuah sentilan dapat memberikan efek terhadap penanganan. Belum lama ini Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 6 tahun 2020 tentang peningkatan disiplin dan penegakkan hukum protokol kesehatan dalam pencegahan dan pengendalian covid-19. Instruksi ini ditujukan kepada Para Mentri Kabinet, Sekretaris Kabinet, Panglima TNI, Kapolri, Lembaga Pemerintah Non Kementerian, para Gubernur dan Bupati/Waki Kota seluruh Indonesia.
Dari Inpres ini diharapkan masyarakat dapat lebih disiplin dan patuh terhadap kebijakan adaptasi kebiasaan baru agar dapat berjalan sebagaimana mestinya. Arti adaptasi kebiasaan baru yang seharusnya difahami dan dilakukan masyarakat adalah jika sedang flu, tetap harus di rumah saja; sedia penyanitasi tangan kemana-mana; selalu menggunakan masker; tetap menjaga jarak 1-2 meter; sering mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir; setelah beraktivitas dari luar setibanya di rumah langsung mandi; tidak berjabat tangan melainkan hanya dengan menyapa; menggunakan uang elektronik saat bertransaksi; untuk balita dan lansia tetap di rumah saja.
Rasanya tidak sulit untuk menerapkan protokol kesehatan yang dianjurkan, terlepas dari bolehnya melakukan aktifitas di luar rumah bukan berarti kita harus berkelakuan bebas dengan tidak mengedepankan rasa was-was. Karena pada dasarnya covid-19 benar-benar menjadi masalah besar yang mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Seseorang tidak dapat tahu pasti dirinya tidak membawa virus sampai ada tes yang menyatakannya, karena memang sebagian kasus tidak menimbulkan gejala. Artinya bisa saja kita menjadi seorang yang menularkan, maka dari itu patuhi protokol kesehatan dan jangan salah kaprah.
Penulis adalah mahasiswa Perbankan Syariah FEBI UIN SU, dan sedang melaksanakan KKN-DR Kelompok 163.