Oleh : Heri Firmansyah, M.A.
Pada bulan Agustus tahun 2020 ini ada dua peristiwa penting yang dilalui oleh umat Islam Indonesia, yang pertama adalah peringatan tahun baru Islam dan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-75. Tulisan ini mengambil segmen tentang kemerdekaan dengan sebuah pertanyaan, benarkah kita sudah merdeka dan bagaimana sebenarnya hakikat kemerdekaan bagi seorang Muslim ?
Hasan al-Banna mengungkapkan bahwa kemerdekaan sejati seorang hamba adalah saat manusia dapat terbebas dari belenggu duniawi menuju kepada penghambaan totalitas kepada Allah swt. Hal ini berarti keberadaan manusia ini seperti dijelaskan Allah swt di dalam Alquran, alasan penciptaan dan keseluruhan proses kehidupannya adalah dalam rangka pengabdian dan peribadatan kepada Allah swt. Seperti tertuang dalam surah at-Thur ayat 56 : “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaku..” saat manusia dapat melepaskan diri dari kungkungan yang bersifat duniawi, seperti harta, materi, jabatan dan lain sebagainya, tidak mencintainya secara berlebihan, melebihi kecintaannya kepada Allah dan Rasulnya, melepaskan nafsu su’ yang dapat menyebabkan keterjerumusan manusia ke dalam jalan kesesatan dan kemaksiatan untuk memperolehnya, di situlah manusia akan mendapatkan sejatinya kemerdekaan.
Banyak sekali kita dengar kisah mengagumkan dari para ulama salaf as-Shalih yang begitu mengagumkan saat ditawari gemerlapnya dunia, maka dia lebih memilih untuk hidup secara sederhana, bahkan menawarkan bantuan yang ingin didapatkannya untuk orang lain atau murid-muridnya. Hal ini dikarenakan mereka telah memiliki kesucian hati dan terbebas dari penyakit kronis yang amat mematikan bagi orang-orang yang beriman dan menyebabkan kemundurannya bagi setiap generasi yang terjangkiti olehnya. Penyakit tersebut adalah hubbud dunya (kecintaan terhadap dunia) dan karahiyah al-maut (membenci kematian secara berlebihan). Dua penyakit berbahaya ini terkumpul dalam satu istilah penyakit ‘wahn’ yang apabila telah masuk ke dalam diri seseorang lebih parah dari penyakit corona yang melanda saat ini. Hal ini diungkapkan oleh Rasulullah saw tentang penyakit wahn ini :
“Hampir saja para umat (yang kafir dan sesat) mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana mereka berkumpul menghadapi makanan dalam piring. Kemudian seseorang bertanya, ‘Katakanlah wahai Rasulullah, apakah kami pada saat itu sedikit?’ Rasulullah bersabda, “Bahkan kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian bagai sampah yang dibawa oleh air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan akan menimpakan dalam hati kalian ‘Wahn’. Kemudian seseorang bertanya, ‘Apa itu ‘Wahn?’ Rasulullah berkata, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Penyakit wahn akan menyebabkan kelemahan bagi generasi Muslim dan mereka menjadi generasi paling rapuh yang dapat dimangsa oleh siapapun. Tidak memiliki kehormatan dan kebanggaan lagi karena telah kehilangan jati dirinya sebagai seorang Muslim. Demi kehidupan dunia dia rela menggadaikan iman dan agamanya. Ini bukan berarti kita tidak perlu mengejar kehidupan dunia, karena Rasulullah saw juga mengajarkan kepada kita untuk “berbuatlah kamu untuk kepentingan duniamu, seakan-akan kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk kepentingan akhiratmu, seakaan-akan kamu mati pada esok hari”. Tapi jangan sampai kehidupan dunia itu teramat kita cintai, terlena akannya dan deminya kita rela melanggar perintah Allah swt dan Rasul-Nya. Menjadikan kehidupan dunia sebagai prioritas dan melupakan bahwa kehidupan keabadiaan adalah akhirat yang pasti akan ditegakkan sebagaimana yang telah dijanjikan Allah swt., seperti yang termuat di dalam Alquran dan Sunnah.
Dalam hal ini Menarik kiranya untuk mengungkapkan kisah nyata dari seorang ulama shalih dari Arab saudi yang bernama Syaikh Utsaimin. Cerita ini dirangkumkan dari kitab ad-Dur at-Th-Thamin, yang dapat juga ditemukan diwebsite www.saudinesia.com.
Suatu kali Raja Arab Saudi Khalid bin Abdul Aziz bersama putra Mahkotanya mengunjungi kediaman beliau yang sangat sederhana. Karena merasa prihatin dengan kondisi rumahnya, maka Raja pun menawarkan untuk membangunkan rumah bagi Syaikh Utsaimin yang bagus bak istana. Syaikh pun menolak dan mengungkapkan bahwa sesungguhnya dia telah membangun sebuah rumah di daerah Shuluhiyyah. Raja pun tetap memaksa dan bersikeras untuk membangunkan rumah untuknya. Karena merasa ‘tidak enak’ dengan Raja, maka dia pun mengungkapkan, jika memang ingin diberi, bangunkan saja asrama untuk murid-muridku agar mereka lebih mudah tidur ditempat itu bila dibandingkan harus menginap di Masjid.
Setelah Raja pulang, murid-muridnya pun bertanya kepada Syaikh Utsaimin, tentang keheranan dan ketidaktahuan mereka bahwa sang Syaikh Utsaimin ternyata telah membangun rumah di daerah Shuluhiyyah, karena sebenarnya jika tahu maka mereka ingin membantunya. Syaikh pun berkata, “tahukah kalian perkuburan di daerah Shuluhiyyah ? disitulah aku sedang mempersiapkan dan membangun rumahku”.
Penulis: Dosen UIN Sumatera Utara dan Pengurus MUI Kota Medan bidang Hukum dan Perundangan