Oleh : Heri Firmansyah, M.A
Kata yang amat terkenal dari Ali bin Abi Thalib hingga kini di dalam pemuliaannya terhadap guru adalah “Aku adalah seorang budak bagi siapa yang telah mengajarkanku satu huruf. Aku pasrah padanya, baik ia mau menjualku, memerdekakan atau tetap menjadikanku seorang hamba.
Kata-kata ini sebagai bentuk pemuliaan yang tinggi dari seorang khalifah umat Islam kepada seorang guru yang telah memberikan pengajaran kepadanya. Kata ini seakan menjadi kontradiktif jika kita melihat fenomena para pelajar saat ini yang banyak melakukan su’ul adab (adab yang jelek) terhadap para guru-gurunya, seperti melawan, menghardik, memukul, melaporkan ke polisi dengan tuduhan tindakan penganiayaan dan bahkan memberikan gelar-gelar yang jelek kepada guru-guru mereka, seperti jika cerewet digelar ‘Mak Lampir’ dan lain sebagainya.
Karena itu kita banyak menyaksikan kekacauan yang terjadi bagi seorang yang terpelajar meskipun telah memiliki keilmuan dan pendidikan yang baik, namun memiliki kesusahan hidup dan kesengsaraan, karena salah satu pendorongnya adalah su’ul adab terhadap gurunya.
Suatu kali Imam Syafi’i memberikan nasehat tentang enam cara yang akan memberikan keberkahan bagi kita di dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Salah satunya adalah dengan cara mengakrabi dan memuliakan para guru. Karena itu para ulama salaf terdahulu sangat hormat dan memuliakan sekali para guru-gurunya, sehingga mereka memperoleh kemuliaan dan derajat yang tinggi di hadapan manusia dan keberkahan dan kesejahteraan hidup dari ilmu yang diperolehnya.
Ada contoh yang nyata diperlihatkan oleh Imam Syafi’i di hadapan orang-orang. Suatu kali dia mencium tangan seorang tua yang telah renta dan memeluk hangat dan akrab sekali dengan orang tua tersebut. Saat itu Imam Syafi’i telah menjadi seorang pesohor ulama besar yang menjadi rujukan siapapun sedangkan orang tua yang dia cium tangannya tersebut tidaklah dikenal oleh orang-orang. Saat murid-muridnya bertanya siapakah orang tersebut, Imam Syafi’i pun menjawab, bahwa orang tua tersebut adalah gurunya.
Seorang murid, yang telah memperoleh keilmuan yang tinggi, bahkan tak jarang ada yang melebihi keilmuan guru-gurunya tidaklah pantas untuk menyombongkan diri dan menganggap rendah para guru-gurunya, karena itu akan menyebabkan keberkahan ilmu itu akan dicabut dan kehidupannya pun akan menjadi susah.
Sebuah kisah nyata tentang seorang murid pintar bahkan telah setara atau malah melebihi keilmuan guru-gurunya, namun kehilangan etika dan ke-tawadu‘-an di hadapan para guru-gurunya sehingga akhir kehidupannya menjadi susah. Kesengsaraan hidupnya disebabkan rasa kesombongan dan tinggi hati terhadap guru-gurunya karena telah merasa lebih mulia kedudukannya dengan ilmu yang dikuasainya.
Cerita ini disampaikan oleh Habib Abdullah As-Syatiri di sebuah Pesantren daerah Tarim, Yaman yang dia pimpin. Nama pesantren tersebut adalah Rubath Tarim. Pesantren ini telah banyak menghasilkan ulama-ulama besar Yaman dan memiliki kekhususan dan keunggulan pendidikan dalam bidang fikih.
Suatu masa di pesantren tersebut ada seorang santri, sebut saja bernama “fulan” dan telah mondok selama 13 tahun yang dibina langsung oleh Habib Abdullah bin Umar As-Syatiri. Si fulan ini sangat cerdas, kuat hafalannya, rajin dan ulet. Bahkan Habib sendiri memprediksinya akan menjadi ulama besar kelak di Yaman karena derajat keilmuannya saat ini sudah seperti seorang mufti, bahkan meski dia baru menyandang seorang santri. Dia hafal Alquran, ribuan hadis dan masalah-masalah fiqhiyyah dalam kitab Tuhfatul Muhtaz yang terdiri dari 10 jilid. Teman-temannya menganggapnya sebagai perpustakaan berjalan karena tempat bertanya persoalan selain kepada guru. Namanya juga telah tersohor ke luar sebagai seorang yang jenius dan cemerlang. Namun dia tergoda oleh syetan yang mampu mengelabui hatinya. Dia pun menjadi orang yang tinggi hati dengan keilmuannya, sampai-sampai dia pernah memanggil gurunya sendiri dengan namanya langsung yang menurut tradisi di Yaman dan juga di Indonesia adalah sesuatu yang tabu. Karena dia merasa kedudukannya telah sederajat bahkan lebih tinggi dari gurunya karena keilmuannya.
Melihat sikap tinggi hati dan kesombongan si fulan, Al-Habib Abdullah As-Syatiri mencoba untuk bersabar sembari memberikan nasehat kepadanya, namun ternyata sikap sang santri pun tidak berubah bahkan semakin menjadi-jadi.
Karena sudah merasa pintar dan tidak memerlukan guru lagi, maka dia pun keluar dari Pesantren Rubat Tahrim tanpa izin dan pamit kepada sang guru Alhabib Abdullah. Sang guru mengetahuinya saat diadakan pengajian umum si fulan tidak terlihat, saat ditanya, kemanakah si Fulan? Murid-murid menjawab dia telah pergi ke daerah Mukalla untuk memberikan pengajaran di sana Syaikh. Lalu sang guru bertanya, apakah dia sudah izin kepadaku? Para murid pun diam saja, karena mungkin mengetahui bahwa si fulan telah dirasuki rasa sombong yang tidak merasa perlu mendapatkan izin dan restu dari sang guru. Maka Habib Abdullah pun berkata, baiklah kalau begitu, biarkan si Fulan pergi, akan tetapi ilmunya akan tetap berada di sini bersama kita.
Di sisi lain di Kota Mukalla Yaman, karena mengetahui si Fulan adalah murid cemerlang dari sang guru Habib Abdullah berbondong-bondong ingin belajar kepadanya. Mereka merasa bahwa dengan belajar kepada si Fulan, berarti telah belajar kepada sang Gurunya. Si fulan naik berbicara pada sebuah masjid sebagai seorang penceramah dan menyampaikan ayat surah Azzariyat ayat 56: “AKu tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” Ia ingin menjelaskan maksud ayat ini beserta ayat-ayat setelahnya, namun dia terdiam dan tercekat, seakan mulutnya terkunci dan akalnya tertutup. Dia terdiam dan tidak bisa berbicara apa-apa seakan seluruh ilmunya telah hilang meninggalkannya, dia pun menangis.
Tidak ada satu pun hafalannya dulu yang tersisa. Para jamaah pun bubar dan bertanya-tanya ada apakah gerangan yang terjadi pada diri si Fulan. Setelah kejadian tersebut ada ulama lain yang bernama Habib Abdullah Shodiq al-Habsyi menasehati dirinya untuk meminta maaf kepada gurunya terhadap suul adab yang telah dilakukannya. Akhlak yang tidak terpuji akibat dari kesombingan diri. Namun karena setan telah menguasai dirinya dia pun enggan untuk meminta maaf.
Akhirnya dia hidup dalam kemiskinan karena keluarganya pun tidak mau menerimanya, teman-temannya menjauhi bahkan di akhri hayatnya hanya untuk membeli kafan pun dia tidak punya. Maka kain kafannya diberikan oleh seorang dermawan yang ingin membantu dan merawat jenazahnya yaitu gurunya sendiri Habib Abdullah bin Umar As-Syatiri.
Semoga kisah ini memberikan i’tibar bagi kita untuk senantiasa memuliakan para guru-guru kita, baik yang sedang menjabat dan bertugas sebagai guru atau yang sudah pensiun. Karena tidak ada mantan guru. Semua guru sangat berjasa bagi keberhasilan diri kita. Semoga dengan memuliakan dan menghormati mereka, kehidupan kita akan bahagia dan sejahtera.