Oleh: Bagus Ramadi MH
rekatamedia.com-“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biar pun terhadap dirimu sendiri atau bapak ibu dan kerabatmu. Jika ia (yang tergugat atau terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah lebih utama dari keduanya…”. (Q.S al-Nissa [4]: ayat 135).
Perjalanan panjang hidup manusia telah dilewati dalam berbagai masa, ruang dan waktu, dinamika, tuntutan serta tanggung jawab menuju kebaikan serta konsistensi dalam memperjuangkan hajat hidup dan menegakkan keadilan. Proses ini telah dilalui dalam rentang waktu begitu lama, bahkan melewati jutaan hari untuk mencari makna keadilan yang sesungguhnya, dan menerapkan nilai keadilan tersebut untuk ditegakkan ditengah pengembaraan umat manusia.
Merenungi ditengah kesunyiaan merupakan cara yang cukup efektif untuk menggerakkan jiwa-jiwa yang akan siap mengempaskan pikiran dan hatinya untuk menghujamkan makna keadilan seadil-adilnya dalam setiap lini pergerakan dan perputaran hiup manusia. Makna keadilan akan dapat ditafsirkan dengan berbagai macam corak dan bentuk untuk membuktikan betapa pentingnya dan kesetiaannya untuk dekat dengan manusia dan kehidupan demi mengangkat harkat dan martabat ditengah kegelapan zaman yang dirundung kezaliman, kedustaan, ketidakberpihakan terhadap golongan yang lemah (mustadafiin) dan ketidakpastian hukum.
Prosa keadilan harus menjelma dan tetap hidup di tengah-tengah perputaran waktu agar manusia terhindar dari apa yang sering diungkapkan oleh para filosof dan sejarawan yaitu homo homini lupus yang pemeran utamanya adalah kekuasan (negara). Sejarah telah menceritakan kehidupan umat manusia dahulu kala yang berdiri di atas hukum rimba yakni manusia bebas melakukan apa saja sesuai kehendaknya, yang kuat memiliki kuasa atas yang lemah. Tak ada hukum atau aturan yang menjadi pedoman hidup. Hal ini sejalan dengan ungkapan Thomas Hobbes bahwa dalam kehidupan seperti itu, manusia hidup dengan pola bertahan dan sesekali menyerang terhadap sesamanya.
Setiap individu tidak merasa aman dan senantiasa dalam ketakutan dan kekhwatiran sehingga dapat dipahami makna keadilan dalam pespektif ini adalah tegaknya hukum diantara sesama manusia.
Terciptanya keadilan yang sempurna harus bersumber dari kehadiran negara yang diwakili oleh para penguasa dengan sikap yang dalam redaksi Thomas Hobbes yaitu cita-cita hidup setiap manusia adalah untuk meraih kesejahteraan, di mana setiap manusia bisa hidup terjamin lepas dari kesengsaraan an penderitan perang. Manusia yang hidup atas prinsip justice, equaty, modesty, mercy serta memerlakukan orang lain layaknya ia memerlakukan dirinya sendiri.
Makna Adil dan Keadilan Sosial Perspektif Alquran
Dalam Alquran, kata adil di dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 78 kali dan kata ‘adl sendiri disebutkan 28 kali. Kata adil berarti “menetapkan hukum dengan benar”. Adil juga bermakna seimbang, sama, memberikan sesuatu kepada yang berhak (proposional).
Seorang yang adil adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan itulah yang merupakan makna asal kata adil. Salah satu makna keadilan yang harus tanamkan dalam setiap individu adalah konsisten serta ikut dalam memperjuangkan hajat hidup manusia, diantaranya saling bahu-membahu dalam kebaikan serta menunjukkan jalan menuju kesuksesan.
Hal itu merupakan contoh sederhana dalam mengaplikasikan makna keadilan dalam masyarakat (keadilan sosial). Pesan Alquran telah disampaikan dalam surah al-Maidah [5] ayat 8: “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kelompok menjadikan kamu tidak berlaku adil”.
Pesan ini akan menjadikan seseorang “tidak berpihak” kepada salah seorang yang berselisih, dan pada dasarnya pula seorang yang adil “berpihak kepada yang benar dan salah” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu yang patut dan tidak sewenang-wenang.
Dalam konteks kemasyarakatan bahwa kehidupan umat manusia harus dapat saling meringankan beban dan penderitaan sesama dalam lintas agama, budaya, pendidikan dan kasta. Bahwa prinsip kemasyarakatan yang ideal adalah tidak ada kemiskinan, kelaparan, penganguran, justru yang semestinya ada adalah kebersamaam, kebahagiaan dan persatuan. Keadaan ini dapat tercipta, bilamana orang-orang yang berkecukupan harta, berlebih rezeki dan berlimpah kebahagiaan dapat saling memberi kepada orang-orang yang membutuhkan agar tercipta harmonisasi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Bahkan motivasi untuk memberi telah dikomunikasikan lewat hukum zakat, infak, sedekah, hibah serta hadiah, yang bertujuan untuk terciptanya hubungan timbal balik, hubungan kasih sayang agar terciptanya masyarakat yang kuat baik batin maupun fisik dengan adanya harta benda. Kewajiban dalam membantu tidak hanya sebatas dan berhenti dikala harta itu telah disalurkan dan diterimanya dengan lapang dada, melainkan tugas utamanya adalah bagaimana dengan harta yang disumbangkan itu, dapat merubah kehidupannya menuju kemajuan dan kesejahteraan harus tercapai.
Maka, langkah inilah yang disebut dengan menunjuki padanya jalan kesuksesan. Bilamana, seorang manusia telah sanggup memberikan kebaikan serta menunjuki jalan kesuksesan maka keadilan sosial sudah finish dalam kehidupannya serta nilai yang akan diperoleh berupa penghargaan dari manusia serta balasan pahala yang berlipat ganda dari Allah Yang Maha Pemberi. Sebab, setiap manusia selalu dituntut agar fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebajikan) (QS al-Baqarah [2] ayat: 148).
Imam Ali r.a berkata “Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, sedangkan ihsan (kebajikan) menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya”. Maka makna keadilan sosial selanjutnya yang terangkum dalam Alquran sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Nahl [16]: ayat 90. “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan”.
Dalam konteks kehidupan berbangsa maka seorang pemimpin Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Lurah dan Kepala Desa hendak selalu berlaku adil. Itulah sebabnya seorang pemimpin yang ideal, diidolakan dan dicintai rakyatnya yang Plota ungkapkan dengan julukan the philosopher king, seorang pemimpin yang baik yang mampu berlaku adil dengan perintah UU yang diamanahkan terhadapnya. Nilai-nilai yang akan terbawa dari sikap keadilan seorang pemimpin adalah kebajikan pada rakyatnya. Seorang pemimpin yang adil akan sangat mudah mencipta keadilan sosial sebab suara-suara kebajikan akan didengungkan oleh seluruh rakyatnya.
Akhirnya, keadilan sosial dapat terwujud dengan syarat utamanya bahwa masyarakat (individu dan kelompok) dan negara (pengusa atau pemimpin) berkolaborasi dalam proyek kebajikan-kebajikan. Kebajikan yang menyentuh arus utama kehidupan berbangsa, mulai dari ekonomi, politik, sosial, pendidikan, keamanan, hukum yang didalamnya terdengar hembusan nafas keadilan sosial. Sangat tidak mungkin atau mustahil tercapai kesejahteraan dalam masyarakat bilamana keadilan selalu disembunyikan dibawah bayang-banyangan kekuasaan yang zalim. Sebab, kepemimpinan adalah sebagai perjanjian Ilahi yang melahirkan tanggung jawab menentang kezaliman dan menegakkan keadilan.
Penutup
Alquran menetapkan bahwa salah satu sendi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa adalah keadilan. Berlaku tidak lebih dan tidak kurang dalam berbuat baik melebihi keadilan seperti memaafkan yang bersalah atau memberi bantuan kepada yang malas akan dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Dalam Alquran setidaknya terdapat empat (4) makna keadilan. Pertama, adil dalam arti sama. Adalah memperlakukan seseorang sama atau tidak membedakan satu sama lain. Kedua, adil dalam arti seimbang. Kesesuaian terhadap apa yang diperjuangkannya, sehingga imbalan yang didapati tentu juga sesuai kesanggupannya. Ketiga, adil maksudnya perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya. Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. Wallahu a’lam
Penulis adalah Asisten Pengajar di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sumatera Utara Medan