Hakikat Ilmu dan Kemuliaan Diri

  • Whatsapp

Oleh : Heri Firmansyah M.A.

rekatamedia.com-Imam Syafi‘i suatu kali pernah berkata yang kira-kira maknanya “dengan keilmuan yang kumiliki niscaya aku akan mudah untuk mendapatkan dunia, namun aku menyadari tujuan kehidupan dunia itu sangat rendah, maka aku tidak sedikitpun menuntut ilmu kecuali kuharapkan keberkahan dan keridhaan Allah swt”.

Baca Juga:

Tujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah swt inilah sebenarnya hal pokok yang menjadi motivasi utama seseorang untuk mencari ilmu. Selanjutnya adalah keberkahan di dalam kehidupan. Keridhoan dari Allah swt dan keberkahan hidup menjadi kunci utama keberhasilan seorang penuntut ilmu. Pepatah arab yang terkenal menyatakan “ilmu yang tidak diamalkan, seperti pohon yang tidak pernah mau berbuah. Seperti itu juga orang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya, maka dia tidak akan memberikan manfaat baik untuk dirinya apalagi kepada orang lain.

Rasulullah saw mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berdoa agar terhindar dari ilmu yang tidak bermanfaat. Ilmu yang tidak bermanfaat terutama sekali menjadikan sang pemiliknya tidak mendapatkan ridha Allah swt dan keberkahan hidup. Ini dikarenakan semakin mendapatkan ilmu maka dia tidak semakin taat dan patuh terhadap perintah Allah swt dan menjauhi segala larangan-Nya. Bahkan ia semakin sombong dan merasa mulia di hadapan manusia karena ilmu yang dimilikinya.

Allah swt mengungkapkan dalam firman-Nya surah Fathir ayat 28 : “Sesungguhnya di antara para hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama”. Semakin tinggi, luas dan dalam ilmu seseorang maka ketakutan dan ketundukannya pun kepada Allah akan semakin meningkat, ketaatannya semakin membumbung tinggi dan ketawadhuaannya akan menghujam ke bumi.

Para ulama adalah mereka yang menguasai ilmu dan karena itu mereka disebut pewaris para nabi. Seoang yang berilmu lah yang diharapkan menjadi penopang dakwah warisan Rasulullah saw untuk tetap terus tegak dan berkibar di atas permukaan bumi ini.

Antara A’lim dan A’bid

Orang yang berilmu akan seperti padi, makin merunduk maka akan semakin berisi. Ilmu akan membimbing seseorang menuju kepada peradaban yang mulia dan akhlak yang baik. Kesempurnaan ibadah, persyaratan utamanya juga adalah karena penguasaan terhadap ilmu. Karena itu pula Rasulullah saw bersabda di dalam sebuah hadis “Perumpamaan keutamaan orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang beribadah adalah seperti perumpamaan antara bulan dan seluruh bintang bintang”. (Sunan At-Tirmizi, No. Hadis 2606).

Cahaya orang yang berilmu Nampak terang mengalahkan bintang-bintang. Rasulullah saw., dalam kesempatan yang lain menegaskan tentang keutamaan ilmu bahwa “Jika ingin menguasai dunia, maka hendaklah ia menguasai ilmu pengetahuan, jika ingin menguasai akhirat, maka hendaklah ia menguasai ilmu pengetahuan, dan jika dia ingin menguasai keduanya (dunia dan akhirat), maka hendaklah ia menguasai ilmu pengetahuan.

Suatu kali Umar bin Khattab terheran-heran melihat Setan sedang berada di masjid tidak mau masuk mengganggu orang yang sedang beribadah, justeru dia malah mendampingi orang yang tertidur agar terlelap dalam tidurnya. Umar pun bertanya, ada apakah gerangan sehingga kamu lebih suka menidurkan orang yang lalai dengan tidurnya dibandingkan mengganggu orang yang sedang shalat agar merusak ibadahnya.

Setan pun menjawab “Aku tahu bahwa yang terlelap itu adalah orang yang alim sedangkan orang yang beribadah tidak berilmu”. Aku khawatir dia akan terbangun dan akan memberikan pengajaran ilmu kepada orang yang beribadah tersebut, sehingga akan semakin baguslah ibadahnya”.

Meskipun banyak sekali keutamaan orang yang berilmu dan biasanya akan mendapatkan kemuliaan di hadapan manusia, namun harus senantiasa diingat bahwa ilmu yang kita miliki datang dari Allah swt dan kita menuntut dan mengamalkannya juga karena dan atas nama Allah swt. Jangan pernah melacurkan ilmu yang kita punya dengan kepentingan sesaat.

Ada banyak orang yang memberi geler diri sendiri dengan ‘ulama’ lalu diplesetkan orang lain menjadi ‘ubaru’ karena ketergelinciran mereka di dalam mempergunakan ilmu yang dimiliki untuk kepentingan-kepentingan nafsu, jabatan, materi, duniawi dan uang. Merasa seorang Alim yang banyak pengikutnya lalu dengan sembrono memberikan fatwa dan menjadi pendukung Penguasa dengan tanpa filter yang baik sebagai seorang yang bergelar sang ‘Alim.

Antara A’lim dan Penguasa

Tidak ada salahnya jika seorang ‘Alim berilmu dekat dengan puasa namun dia harus menjadi sang ‘murabbi” yang membimbing seorang pemimpin atau penguasa. Seorang A’lim berilmu yang dekat dengan penguasa hendaknya bukanlah menjadi “cap stempel” yang senantiasa mengikuti kemauan dan keinginan penguasa, bahkan saat tindakan dan perbuatan sang penguasa sangat jauh sekali dari nilai-nilai agama dan kemashlahatan umat.

Setidaknya cukuplah untuk menjadi perenungan apa yang diungkapkan oleh Imam Ghazali “salah satu tanda ‘Alim su’ (Orang berilmu yang tidak baik) adalah mereka yang dekat sekali kepada para penguasa’. Kedekatan yang sangat itu menjadikan lidah mereka ‘keluh’ dan ‘beku’ untuk menyampaikan ayat-ayat Allah swt, jikalau sang penguasa telah lari dari koridor Syariah yang telah digariskan Allah swt. Tidak mampu lagi memberikan petunjuk dan pencerahan ke arah kebaikan.

Terkadang sampai-sampai kita mendengar ‘bisik-bisik’ seorang penguasa dengan bahasa verbalnya memberikan stigmatisasi yang ‘rendah’ bagi orang yang berilmu padahal orang tersebut dekat dan menjadi ‘Team suksesnya”. Sungguh ini adalah bukan hanya kecelakaan bagi diri yang dianggap sang Alim berilmu tersebut, namun juga tentu sebuah ‘kecelakaan’ bagi umat.

Padahal orang ‘Alim berilmu adalah mereka yang menjadi panutan dan harapan umat. Mereka adalah benteng terakhir dan penyampung lidah umat untuk menyampaikan kebaikan kepada penguasa dan menjadi kontrol dan rem bagi para penguasa terhadap Tindakan-tindakan penyelewengan. Karena itu, semoga akan banyak terlahir orang-orang berilmu (ulama) yang menyadari benar bahwa hakikat tertinggi bagi sang penuntut ilmu adalah menjadi orang yang paling takut kepada Allah swt dan mencari keridhaan-Nya.

Paling takut untuk melacurkan diri dan ilmunya untuk kepentingan nafsu, materi dan dunia yang pasti akan sirna. Orang-orang sepeti inilah yang akan mampu berdiri tegak, dengan kedudukan mulianya di hadapan para penguasa.

Contoh ‘Alim Mulia

Banyak sekali ‘Alim berilmu yang sampai kini harum mewangi namanya. Dapatlah kiranya kita mengambil satu contoh seperti apa yang disampaikan oleh Imam Bukhari suatu kali saat utusan sultan datang kepadanya untuk memintanya datang dan mengajarkan kitab Shahih Bukhari di Istana. Dia berkata dengan tegas penuh dengan kemuliaan “Katakan kepada Sultan, saya tidak akan merendahkan ilmu, dan membawanya ke pintu-pintu istana, jika ia membutuhkan ilmu dariku, maka datanglah ke masjid tempat aku mengajarkannya atau mendatangi rumahku”.

Sikap ini membuat Sang Sultan penguasa Bukhara marah dan mengusirnya dari daerah tersebut. Dia akhirnya tinggal di desa kecil daerah Samarkhand dan mati dengan penuh kemuliaan di sana, hingga namanya harum hingga kini.

Sanggupkah ‘Alim berilmu saat ini berkata seperti apa yang disampaikan Imam Nawawi kepada Penguasa Damaskus saat itu, Dhahir Bebres, saat ia meminta fatwanya untuk kebolehan mengambil pajak yang berat kepada rakyat untuk membiayai dan membantu peperangan.

“Tuan, sesungguhnya dirimu memiliki seribu budak, tiap budak membawa emas serta dua ratus budak perempuan, masing-masing mengenakan gelang emas”. Jika engkau telah gunakan itu semua dan tinggal para budak laki-laki dan budak perempuan yang masih lengkap dengan pakaian tanpa gelang, maka saya baru akan memfatwakan boleh mengambil pajak dari rakyat”, tegas Imam Nawawi di hadapannya di ruang istana.

Maka tak ayal, Imam Nawawi pun diusir saat itu juga bukan hanya dari istana, namun dari daerah Damaskus oleh sang penguasa. Imam Nawawi pun menjawab pengusiran itu dengan tindakan mulianya “aku mendengar, dan akan akan aku taati”.

Penulis: Dosen Fakultas Syarian dan Hukum UIN Sumatera Utara dan Anggota Komisi Hukum dan Perundang-undanga MUI Kota Medan.

 

Pos terkait