Berita ditemukannya obat untuk pasien Covid di Indonesia, sekilas menggembirakan masyarakat. Namun, BPPOM menemukan sejumlah masalah dalam uji klinis obat oleh UNAIR Bersama TNI-AD dan BIN. Sebagai catatan, hingga saat ini WHO belum merekomendasikan satu pun obat untuk mencegah atau mengobati infeksi corona. Obat dari gabungan Unair-TNI AD-BIN ini juga belum mendapatkan izin edar dari BPOM. Selain itu, tim Unair-TNI AD-BIN pun belum mengungkapkan secara rinci metode penelitian uji klinis dan hasilnya secara lengkap. Yang lebih penting lagi adalah, hasil penelitian yang baik tentu harus dipublikasikan di Jurnal ilmah yang terakreditasi dan kalau bisa bereputasi internasional.
Berbagai tanggapan pakar Kesehatan tentang hasil uji klinis obat Covid-19 di Indonesia dapat kita ikuti di media saat ini. Ada tiga kelompok obat kombinasi yang digunakan pada uji klinis tersebut, yaitu: Pertama, Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin. Kedua, Lopinavir/Ritonavir dan Doxycycline. Ketiga, Hydroxychloroquine dan Azithromycin. Lopinapir/Ritonapir adalah golongan Anti retroviral yang digunakan sebagai salah satu kombinasi dengan antiretroviral lainnya untuk pengobatan infeksi HIV. Belum ada uji klinis yang telah membuktikan kemampuannya membunuh virus corona. Namun, karena belum ditemukan obat pilihan, maka obat ini dipilih sebagai antivirus untuk infeksi corona yang sifatnya masih coba-coba. Azithromycin dan Doxycycline adalah antibiotik untuk membunuh bakteri, bukan virus. Tujuan pemberian antibiotik pada Covid-19 untuk membunuh bakteri, bila ada sebagai infeksi sekunder.
Sedangkan Hydroxychloroquine/Klorokuin, selama ini dikenal sebagai obat antimalaria, namun sudah tidak digunakan lagi karena sudah tidak efektif membunuh parasit malaria di dunia. Klorokuin juga banyak digunakan dan terbukti bermanfaat pada terapi penyakit autoimun, seperti Lupus dan Rheumatoid artritis. Sebagai obat pada penyakit autoimun, klorokuin berperan menekan reaksi imun tubuh yang berlebihan atau sebagai imunosupresan. Ternyata klorokuin (dan hidroksiklorokuin) juga dapat digunakan juga untuk terapi antiviral. Vincent dkk, pada tahun 2005 melaporkan bahwa klorokuin memiliki efek antiviral yang kuat terhadap virus SARS-CoV pada percobaan sel primata. Efek ini diamati ketika sel dipaparkan dengan klorokuin sebelum dan sesudah paparan virus, yang menunjukkan bahwa klorokuin memiliki efek pencegahan maupun efek terapi. Namun sampai saat ini belum ada rekomendasi penggunaan Klorokuin untuk pengobatan standard Covid-19.
Di bidang ilmu kedokteran dan farmasi, penelitian uji klinis adalah salah satu proses ilmiah yang acap dilakukan di rumah sakit Pendidikan atau di lapangan di seluruh dunia untuk membuktikan kemampuan suatu obat baru terhadap kemampuannya menyembuhkan penyakit. Sebelum melakukan penelitian, harus dibuat dahulu proposal penelitian yang sempurna, kemudian proposal tersebut diajukan ke Komite Etik Penelitian suatu institusi Pendidikan Tinggi atau Universitas, atau badan lain yang berkompeten untuk menilai proposal penelitian untuk diterbitkan Ethical Clearance. Setelah proposal lolos kaji etik atau ethical clearance, barulah penelitian dapat dilakukan. Dalam penelitian atau uji klinik, Good Clinical Practice (GCP) juga harus dipedomani.
Uji klinik yang baik dan sahih harus ditentukan jumlah sampel (Sample Size) minimal yang dibutuhkan dari populasi yang akan diteliti serta ditetapkan pula kelompok uji penelitian yang disesuaikan dengan jenis obat uji dan ditetapkan pula Kelompok Kontrol sebagai pembanding. Masing-masing kelompok uji yang akan dibandingkan harus matching secara demografi dan kriteria klinis, agar hasilnya tidak menimbulkan bias dalam perhitungan statistik.
Proses berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah cara pemilihan sampel (Sampling Method). Pemilihan sampel penelitian yang terbaik adalah dilakukan secara acak tersamar ganda dan dengan kelompok kontrol (Double Blind Randomized Controlled Trial). Artinya, dokter peneliti dan pasien tidak mengetahui jenis obat yang diberikan sampai pengobatan selesai. Setelah selesai, barulah dibuka catatan jenis obat apa yang diberikan dan dilihat hasil kesembuhannya secara klinis, radiologis, laboratorium dan virologis, lalu dibandingkan efikasinya masing-masing kelompok uji.
Empat tahap uji klinik harus dilalui yaitu Fase 1 hingga Fase 4. Fase 1 bertujuan menilai pengobatan baru yang diberikan ini memang tidak menimbulkan efek samping yang berbahaya pada pasien. Fase 2 diuji pada kelompok manusia yang lebih besar dan biasanya pada kelompok pasien yang menjadi indikasi atau target pengobatan baru atau metode baru tersebut. Fase 3 dibutuhkan pengujian dengan jumlah sampel yang lebih besar, bisa melibatkan ratusan subjek penelitian dan dilakukan secara multicentre baik antar sentra pendidikan dalam satu negara, bahkan bisa penelitian multicentre lintas negara. Fase terakhir adalah Fase 4 setelah obat memiliki izin edar dan digunkan secara luas di rumah sakit dan masyarakat. Bahkan di fase 4 pun, setelah beredar luas di masyarakat ternyata obat tersebut menyebabkan efek samping yang membahayakan, obat dapat ditarik dari pasaran.
Uji klinik sesuai dengan GCP bukan sesuatu penghalang, bahkan sebaliknya menjadi tantangan untuk dilakukan dengan sebaik-baiknya, sehingga hasilnya sesuai dengan Evidence Based Medicine (EBM). Oleh karena itu, untuk menuju kemandirian bangsa, semua anak bangsa harus dirangsang untuk melakukan terobosan dan inovasi. Inovasi yang baik dan unggul dapat memperkaya khasanah pengobatan modern dengan suatu produk anak bangsa yang pasti membanggakan dan membuat kita menjadi mandiri. Namun, tentu inovasi yang dihasilkan harus melalui proses uji klinis dengan aturan-aturan yang sudah jelas. (Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara).