Rekatamedia.com Ahli nuklir dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Zaki Su’ud menjelaskan Matahari buatan China menggunakan reaksi fusi nuklir untuk menghasilkan energi.
Reaksi fusi yang digunakan pada pembangkit listrik tenaga nuklir ini menurutnya berbeda dari reaktor nuklir yang saat ini banyak digunakan. Sebab, reaktor nuklir yang sekarang ada, menggunakan reaksi fisi.
Lebih lanjut, menurutnya reaksi nuklir terbagi menjadi dua kategori besar yaitu fisi dan fusi.
Reaksi fusi
Fisi nuklir adalah pembelahan inti berat menjadi dua bagian dan sejumlah netron serta sejumlah besar energi.
Reaktor fisi nuklir telah dikembangkan sejak lebih 60 tahun lalu dan sekitar 450-an PLTN beroperasi di dunia saat ini untuk menghasilkan energi listrik dari fisi nuklir.
“Pada reaktor fusi nuklir, reaksi yang terjadi adalah neutron menumbuk U-235 atau Pu-239 kemudian terjadi fisi dengan melepas sejumlah energi,” jelas Zaki.
“Karena neutron tak bermuatan listrik maka proses reaksi fisi ini dapat berlangsung pada energi rendah karena tak ada gaya tolak Coulomb antara netron dengan inti uranium-235 atau plutonium-239,” tutur Zaki.
Reaksi fusi
Sedangkan reaksi fusi nuklir adalah penggabungan dua inti ringan menjadi inti lebih berat dengan melepas sejumlah besar energi.
Pada reaksi fusi, Deuterium bereaksi dengan Deuterium atau Tritium untuk menghasilkan helium-4 dan melepas sejumlah energi. Karena Deuterium dan Tritium bermuatan listrik maka terjadi gaya tolak Coulomb saat keduanya bertumbukan.
Dengan demikian diperlukan energi yang besar untuk memaksa kedua inti tersebut bereaksi. Zaki menuturkan, sejauh ini ada dua metoda untuk memaksa kedua inti Deutron bereaksi.
Pertama, dengan mempercepat melalui akselerator yang kemudian ditumbukkan pada Deutron lain atau Tritium. Cara ini dikenal sebagai reaktor fusi inersial.
Kedua, dengan memanaskan plasma Deuterium dan Tritium sampai suhu ratusan juta derajat Celsius. Dengan suhu setinggi ini energi termal dari Deuterium cukup untuk memicu reaksi fusi nuklir antara Deuterium dengan Deuterium atau antara Deuterium dengan Tritium. Proses ini dikenal sebagai reaktor fusi termonuklir.
“Saat ini untuk reaksi termonuklir reaksi D-T (Deuterium-Tritium) lebih banyak digunakan karena suhu yang diperlukan lebih rendah daripada kalau menggunakan reaksi D-D,” kata Zaki.
Hanya saja, lanjut dia, permasalahan yang ada dengan berbagai reaktor fusi nuklir yang ada saat ini adalah mereka belum mampu menghasilkan reaksi fusi nuklir yang bertahan lama.
Reaktor fusi nuklir saat ini belum ada yang mampu berjalan secara stabil untuk waktu yang lama seperti yang terjadi di matahari. Ordenya sejauh ini baru beberapa detik.
Selain itu umumnya energi yang diperlukan untuk memicu reaksi fusi nuklir masih lebih besar dari energi yang dihasilkan oleh reaksi fusi nuklir yang ada. Reaktor nuklir fusi di China pun baru bisa menghasilkan arus listrik terkuat antara dua dan tiga mega-amp.
Sementara pembangkit listrik plasma dengan reaksi fusi yang ada di Joint European Torus di Inggris mampu menghasilkan energi lebih besar, tujuh mega-amp. Padahal usia laboratorium penelitian ini sudah berusia hampir 40 tahun, seperti dikutip dari SCMP.
Hal inilah yang menjadi alasan pengembangan reaktor fusi nuklir lebih sulit dari reaktor fisi nuklir. (cnn)