Rekatamedia.com Matahari buatan China yang merupakan hasil energi fusi nuklir, HL-2M Tokamak, rencananya akan dikomersialisasikan pada 2050.
Rencana Negeri Tiongkok itu diragukan banyak fisikawan nuklir dunia yang memandang rencana tersebut terlalu mahal, berisiko, dan bisa dibilang tidak ada harapan.
Pasalnya sejak dibangun banyak tempat penelitian reaksi fusi di seluruh dunia sejak 1960-an, tidak ada kemajuan berarti yang dihasilkan. Namun, pemerintah China tetap bersikeras untuk mengembangkan reaktor ini.
Tim yang ditugaskan untuk mengembangkan reaktor ini dinamakan Experimental Advanced Superconducting Tokamak (EAST).
Terlepas dari tantangan tersebut, pemerintah China tetap melanjutkan pembangunan reaktor eksperimental, China Fusion Engineering Test Reactor (CFETR).
Pembangunan reaktor yang bisa memakan waktu hingga 10 tahun ini direncanakan mulai dilakukan paling cepat tahun depan. CFETR akan menggunakan medan magnet yang sangat kuat untuk menampung gas atau plasma panas.
CFETR ditujukan untuk memecahkan masalah teknik untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir. Salah satunya, menjaga gas panas tetap menyala selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun layaknya pembangkit listrik komersil.
Sebab, saat ini reaktor fusi HL-2M Tokamak baru bisa menyala selama beberapa detik saja. Selain itu, energi yang dihasilkan pun belum seberapa besar, baru 2 -3 mega-amps. Masih kalah dari reaktor Joint European Torus di Inggris yang sudah berusia 40 tahun. Reaktor ini bisa menghasilkan listrik hingga 7 mega-amps.
Masalah lain adalah membangun struktur bangunan yang tahan lama menahan hasil radioaktif yang dihasilkan.
Matahari buatan dari reaktor nuklir dengan reaksi fusi ini menggunakan medan magnet untuk memadukan plasma panas dan dapat mencapai suhu lebih dari 150 juta derajat Celcius. Suhu itu disebut 10 kali lebih panas dibandingkan inti Matahari.
Fusi nuklir adalah sumber energi bintang seperti yang terjadi pada Matahari. Sedangkan reaksi fisi nuklir menghasilkan sejumlah besar partikel berkecepatan tinggi yang dapat merusak bangunan atau jaringan manusia jika tidak diisi dengan benar.
Dilansir South China Morning Post, Kamis (10/12) HL-2 Tokamak terletak di provinsi Sichuan barat daya dan selesai akhir tahun lalu, reaktor ini sering disebut “matahari buatan” karena panas dan tenaga yang dihasilkannya sangat besar.
Ilmuwan China telah bekerja mengembangkan versi yang lebih kecil dari reaktor fusi nuklir sejak 2006. Mereka berencana menggunakan perangkat tersebut bekerja sama dengan para ilmuwan yang mengerjakan Reaktor Eksperimental Termonuklir Internasional.
Proyek tersebut merupakan proyek penelitian fusi nuklir terbesar di dunia yang berbasis di Prancis. Proyek harapkan selesai pada tahun 2025.
Pada 2018, EAST sempat menghebohkan ketika Tokamak mereka berhasil mencapai suhu 180 juta derajat. Saat itu Tokamak ini hanya mampu bertahan 10 detik, seperti dilansir Popular Mechanics.
Pada 2019 EAST berencana menggandakan suhu itu jadi 360 juta derajat. Namun, hal itu belum berhasil terwujud lantaran kendala pandemi Covid-19. (*)