Medan-Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan menggelar workshop legal drafting (penyusunan peraturan) khususnya terkait Peraturan Daerah (Perda) syariah untuk mahasiswa di Kota Medan, Kamis (22/10) di aula Kantor MUI Kota Medan.
Acara yang dibuka oleh Ketua Umum MUI Kota Medan, Prof Dr Mohd Hatta, menghadiri narasumber Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Medan Dr H Ali Murthado, M Hum, Sekretaris Umum MUI Kota Medan, Dr Syukri Albani Nasution dan Kepala Pusat Hak Asasi Manusia (Pusham) Unimed, Majda El-Muhtaj M Hum.
Menurut Prof Hatta, selama ini MUI banyak terlibat dalam penyusunan perundang-undangan perda-perda syariah dalam membuat naskah akademik. Sehingga nantinya tidak terjadi kesalahfahaman ketika peraturan telah ditetapkan oleh lembaga legislatif.
“Jadi workshop ini sangat penting bagi para mahasiswa agar tahu tahap-tahapan penyusunan perundang-undangan,” ujarnya.
Sementara Dr. H Ali Murthado M.Hum memaparkan, bahwa antara hukum dan masyarakat seperti dua gambar dalam satu koin. Asas Ubi Societes Ibi Ius menjelaskana bahwa di mana ada hukum di situ ada masyarakat. Karena itu, tidak mungkin kalau ada satu kelompok masyarakat maka tidak ada hukum di situ.
“Hukum pada dasarnya alat untuk merubah masyarakat. Karena dengan hukum, masyarakat dipaksa untuk mengikuti aturan-aturan yang ada yang intinya aturan tersebut agar masyarakat hidup tentram, dan aman,”ujarnya.
Namun, tidak jarang, masyarakat tidak mematuhi hukum. Bisa saja, karena masyarakat tidak mau tahu dengan hukum atau memang sudah tahu ada peraturan tetapi tetap dilanggarnya. Karena itu diperlukan kesadaran untuk mematuhi hukum.
Ali juga menjelaskan, dalam pembuatan hukum yang dilakukan oleh pihak dewan perwakilan rakyat maupun dari pihak pemerintah, tidak serta merta meminggirkan partisipasi masyarakat. “Masyarakat boleh ikut memberikan masukan, usulan dan kritikan sebelum peraturan itu di sahkan. Ini artinya ruang berpartisipasi masyarakat terbuka lebar. Namun kadang, masyarakat tidak memahami mekanisme yang dilakukan untuk ikut berpartisipasi tersebut.”
Perda
Untuk Perda, lanjut Murthado, sudah banyak beberapa daerah sudah sangat maju dalam membuat Perda. Namun, banyak sekali Perda yang telah dibuat di suatu daerah hanya menjadi dokumen hukum tanpa atau minim implementasi. Sebagai contoh, sebuah kabupaten memiliki Perda terkait perempuan dan anak yang sangat lengkap, namun masih sedikit implementasi.
“Hal serupa terjadi di sebuah kota, dimana pemerintah dan DPRD telah mengesahkan sejumlah Perda mengenai hak dan perlindungan perempuan dan anak, namun pelaksanaan perda tersebut belum terlihat. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah penataan dan pengarsipan dokumen Perda agar mudah ditelusuri dan diakses oleh pihak yang membutuhkan,” ungkapnya.
Untuk faktor yang menjadi penyebab lemahnya implementasi Perda yang telah disahkan, dikatakan Murthado, karena masih terbatasnya kemampuan dalam membuat Perda. Dalam beberapa kasus, banyak Perda yang meniru Perda di daerah lain, tanpa menyesuaikan dengan situasi lokal di daerah tersebut. Hal ini berdampak pada sulitnya pelaksanaan suatu Perda karena ketidaksesuaian situasi dan kondisi setiap daerah.
“Ketidaksesuaian Perda dengan kebutuhan masyarakat dan daerah. Hal ini berdampak pada timbulnya Perda yang diskriminatif SARA. Dalam beberapa kasus lain, pembuatan Perda tidak sesuai rencana dan tidak disepakati dalam Properda (Program Peraturan Daerah) atau Prolega (Program Legislasi Daerah),” ucapnya.
Sementara itu, Dr. H. Syukri Albani Nasution MA, menyatakan, mengenai adanya Perda syariah, dia menjelaskan bahwa Perda Syariah adalah setiap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang secara langsung maupun tidak langsung terkait atau setidak-tidaknya dianggap terkait dengan hukum atau norma-norma keislaman.
“Alhamdulillah, walaupun tidak menggunakan istilah Syariah, tetapi ada juga Perda-perda yang ada di Kota Medan intinya berkaitan dengan norma-norma keislaman tersebut. Jika dalam pembentukan Perda seperti ini, MUI Kota Medan terlibat langsung dalam memberikan masukan, usulan dan kritik, sebelum Perda itu disahkan,”ujar Syukri.
Ia melihat bahwa di beberapa daerah, Perda-perda yang bernuansa Syariah ini sudah diberlakukan, seperti Perda Kabupaten Padang Pariaman No. 02/2004 Tentang Pencegahan, Penindakan dan Pemberantasan Maksiat. Di Lampung Selatan ada Perda No. 4/2004 Tentang Larangan Perbuatan Prostitusi, Tuna Susila dan Perjudian serta Pencegahan Perbuatan Maksiat dalam Wilayah Kabupaten Lampung Selatan, begitu juga Perda di Kota Malang No. 8/2005 Tentang Larangan Tempat Pelacuran dan Perbuatan Cabul.
Majda el Muhtaj M.Hum dalam makalahnya berjudul Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menjelaskan bahwa pada dasarnya pembentukan perundang-undangan harus dilandasi dengan peraturan yang ada. “Ini artinya, tidak sembarang dalam membentuk UU atau Peraturan Perudang-Undangan yang ada. Ada mekanismenya,”ujarnya.
Peraturan tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut adalah UU No. 12 Tahun 2011 yang berisi 13 bab dan 104 pasal, dan diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019.
“Saya pernah melihat ada Perda yang diskriminasi, rupanya perda tersebut hanya copy paste dari Perda di suatu daerah yang memang tidak ada pemeluk agama di daerah tersebut. Sementara di daerah yang diberlakukan Perda yang hanya copy paste itu, di sana pemeluk agamanya ada semua. Jelas ini tidak benar cara membuat perdanya,”ujar Majda.
Ia berharap masyarakat dalam melihat suatu peraturan jangan hanya melihat Pasalnya saja, tetapi harus utuh. Apalagi melakukan aksi penolakan suatu peraturan yang kita sendiri belum membacanya, ujarnya.
“Baca dulu, teliti, diskusikan dan berikan masukan jika peraturan tersebut masih dalam bentuk perencanaan. Namun jika sudah disahkan maka bisa mengajukan ke MK jika itu berkaitan dengan UU, “ujarnya. (*)