Medan-Lapangan Merdeka adalah milik rakyat, bukan milik pemerintah. Karenanya Gubernur diminta segera mengeluarkan keputusan yang menetapkan Lapangan Merdeka Medan sebagai situs cagar budaya. Demikian salah satu hasil rekomendasi dalam Fokus Group Discussion (FGD), yang digelar Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Sumatera Utara bekerja sama dengan Dewan Harian Daerah (DHD) 45 Sumut, Kamis ,(1/10/20) di pelataran sekretariat Kwardasu Jalan Jendera Besar AH Nasution Medan.
Rekomemdasi lainnya adalah, Lapangan Merdeka wajib dimerdekakan dan semua elemen masyarakat mempunyai tanggung jawab bersama. Hasil FGD ini akan ditindaklanjuti dengan dibentuknya tim untuk menindaklanjuti rekomemdasi yang dilahirkan.
Saat membuka kegiatan, Ketua Kwarda Gerakan Pramuka Sumut, H Nurdin Lubis mengatakan, gerakan ‘memerdekakan’ Lapangan Merdeka sesungguhnya sudah lama menggema namun belum benar-benar konkrit , dan hari ini kembali digagasi kedua lembaga strategis ini, diawali poros kegiatan FGD ini.
Disebutkan Nurdin di hadapan fungsionaris DHD 45 yang membaur dengan praktisi dan aktifis Pramuka Sumut optimis gerakan moral ini efektif mengedukasi semua pihak, khususnya generasi muda tentang fungsi Lapangan Merdeka.
“Intinya mari bersama kita bangkitkan gerakan moral strategis memfungsikan kembali Lapangan Merdeka Medan sebagai sidik jari Proklamasi RI, cagar budaya dan ruang terbuka hijau,” ujar Nurdin yang juga mantan Ketua DHD 45 Sumut.
Kondisi eksisting Lapangan Merdeka saat ini, ujarnya didampingi Sekretaris DHD 45 Sumut Drs H Eddy Syofian MAP mewakili Ketua DHD 45 Sumut Mayjen TNI (Purn) M Hasyim sudah semakin jauh dari nilai-nilai sidik jari sejarah bangsa sehingga perlu gerakan moral agar generasi muda ke depan tidak sampai lupa terhadap fungsi asli lapangan tersebut.
Pada forum ini secara garis besar mengemuka pada sejarahnya Lapangan Merdeka Medan merupakan bagian dari sejarah perjuangan proklamasi kemerdekaan rakyat dan bangsa Indonesia di Sumatera Utara.
Setelah Jepang menyerah, di lapangan yang saat itu masih bernama Fukuraido itu berlangsung rapat raksasa pada 6 Oktober 1945 dan di sana secara resmi berita Proklamasi Indonesia dibacakan Gubernur Sumatera Mr Muhammad Hasan. Tiga hari kemudian, lapangan itu dinamakan menjadi Lapangan Merdeka Medan.
Banyak lagi nilai-nilai atau sidik jari sejarah bangsa maupun fungsi budaya dan ruang terbuka hijau yang harus direfungsionalisasikan dari kondisi eksisting Lapangan Merdeka Medan.
FGD yang membahas stategi dalam mensosialisasikan dan mengedukasi generasi muda tentang fungsi Lapangan Merdeka sebagai Cagar Budaya, Sidik Jari Proklamasi 1945 dan Kawasan Jalur Hijau ini berlangsung dengan munculnya banyak pemikiran dan masukan yang akan disampaikan kepada pemerintah dan pihak berkompeten lainnya.
Narasumber pada FGD yang dimoderatori Drs H Eddy Syofian MAP yaitu Dr. Phil Ichwan Azhari (Unimed), Dr Suprayetno (sejarawan USU),Shoibul Anshor Siregar (Pengamat sosial politik), H. Sofyan Harahap ( tokoh pers) dan Effendi Naibaho (aktivis peduli lapangan Merdeka).
Ichwan menyebutkan, keberadaan Lapangan Merdeka Medan yang dibangun pada masa penjajahan itu meniru kota-kota di Eropah. Tujuan lapangan itu dibangun adalah untuk menurunkan suhu kota sebagai titik nolnya Kota Medan. Kemudian seputaran lapangan ditanam pohon jenis trembesi untuk penghijauan.
“Namun pohon-pohon itu sebahagian sudah digergaji dan masyarakat tidak ada yang protes,”.
Hal ini, lanjut Ichwan, karena generasi saat ini banyak yang tidak paham tentang sejarah lapangan Merdeka itu sendiri. Karenanya butuh langkah bersama untuk menyelamatkan Lapangan Merdeka.
Sementara itu, Suprayetno menjelaskan sejarah Lapangan Merdeka saat ini begitu banyak bisa diakses jadi sebenarnya orang Medan khussnya tidak asing lagi dengan Lapangan Merdeka tersebut, namun faktanya tidak demikian. Apalagi dalam ‘memerdekakan’ Lapangan Merdeka banyak pihak yang terkesan tidak mendukung.
“Lapangan Merdeka ini merupakan tempat sejarah awal pembacaan naskah Proklamasi bukan hanya untuk Sumatera Utara tetapi untuk Sumatera. Jadi sejarah ini jangan dihilangkan. Prosesnya juga bukan hanya tertuju pada 6 Oktober saja, tetapi ada rangkaian sebelum tanggal 6 Oktober itu,”ujarnya.
“Lalu kenapa Proklamasi yang sudah dibacakan pada 17 Agustus 1945 di Jakarta, baru pada 6 Oktober 1945 dibacakan di Lapangan Merdeka. Kok lama kali jaraknya. Sebelumnya 30 September di Gedung Taman Siswa ada cerita sejarah di situ, karena di situlah hadir 700 orang dan Mr. M. Hassan menjelaskan bahwa sudah ada Proklamasi di Jakarta, dan baru yakin masyarakat dan akhirnya republik didukung,”ujarnya.
Kita jadikanan Lapangan Merdeka itu sebagai laboratorium pelajaran sejarah untuk siswa SD - Perguruan Tinggi jadi hidup terus, ungkapnya.
Sementara nara sumber lainnya mengungkapkan beberapa tindakan yang telah dilakukan bahwa sudah adanya class action terhadap kebijakan mengenai Lapangan Merdeka, namun akhirnya class action ini kalah sebagaimana dijelaskan Efendi Naibaho.
Shohibul Anshar tampak berusaha menyakinkan para peserta untuk benar-benar ‘serius’ berkaitan dengan Lapangan Merdeka, jangan sampai lapangan ini hanya tinggal sejarah, sebagaimana gedung-gedung dan tempat sejarah lainnya yang kita sudah tidak ada lagi keberadaannya.(*)